Kisah Para Manula di Jepang
Ketika membuka-buka koran lecek terbitan 6 hari yang lalu, tepatnya Jawa Pos edisi minggu tanggal 21 Desember 2008, ada dua berita yang mengusik benak saya. Yang pertama berita mngenai kehidupan para warga senior di Jepang dan yang kedua berita tentang hasil penelitian BKKBN yang menyebutkan bahwa remaja yang mencicipi sks mencapai 63 persen.
Dan untuk tulisan kali ini, saya ingin menyoroti terlebih dahulu berita tentang kecemasan para warga senior di Jepang menghadapi masa tua. Yang disebut senior disini adalah adalah mereka yang berusia 65 tahun keatas yang jumlahnya mencapai seperlima dari total 127 juta penduduk Negeri Sakura.
Di dalam artikel yang berjudul “Kecemasan Warga Senior Jepang Menghadapi Masa Tua, Rela Masuk Penjara Hanya untuk Cari Teman Ngobrol”, diberitakan bahwa hari tua menjadi saat menakutkan bagi warga Jepang. Tak ada teman, tak punya keluarga di rumah. Mereka pun melakukan “apa saja” agar mendapat teman ngobrol. Termasuk melakukan kejahatan kecil-kecilan.
Diceritakan ada seorag nenek berusia 70-an bernama Kaneko dan seorang kakek berusia 60-an bernama Yoshui, masih tetap semangat bekerja karena memang mereka sangat berkepentingan untuk bekerja. Tak semata-mata demi uang tapi untuk menangkis apa yang menjadi ketakutan warga senior Jepang pada umumnya yaitu : Kesepian.
Kaneko yang bekerja di hotel tempat wartawan Jawa Pos menginap mengatakan, “Disini (di hotel) setidaknya saya punya teman untuk bicara, baik itu rekan kerja maupun para tamu”.
Perasaan sepi ditengah keriuhan, tak berguna di antara derap kemajuan Jepang, memang telah berdampak begitu buruk bagi warga senior Jepang.
Ada lagi seorang kakek bernama Yuji yang menceritakan kalau banyak temannya yang sengaja melanggar hukum agar dipenjara. “ Mereka lebih senang dipenjara, baanyak teman buat ngobrol. Makan dan minum gratis lagi”, katanya.
Menyusuri kehidupan malam di tiga kota besar di Jepang: Tokyo, Yokohama dan Nagoya, pria seperti Yuji banyak ditemui. Ada yang tertidur di rumah makan, ada yang berkeliaran tak tentu arah, ada pula yang duduk-duduk atau rebahan di depan pertokoan.
“Saya bosan dirumah terus. Keluar, merokok, ngobrol sedikit di sana-sini, atau kadang-kadang main kartu dirumah teman. Itu yang saya lakukan tiap malam. Kalau ada duit, saya pergi ke stadion nonton sepak bola”, kata Hideo, seorang staf kebersihan taman kota Hodagaya, Yokohama.
Membaca berita di atas, bagaimanakah pendapat anda?.
Menurut saya kondisi tersebut jelas memprihatinkan. Beda jauh dengan kisah manula kita yang masih bisa merasakan kebahagiaan dan ketenangan jiwa seperti yang sering diangkat Jawa Pos dalam kolom evergreen.
Mengapa kondisi tersebut bisa terjadi di Jepang?. Terisolasinya kalangan kakek-nenek di Jepang, tak lepas dari rendahnya tingkat kelahiran dinegeri tersebut. Warga senior di Jepang tiga kali lebih banyak daripada Tiongkok dan dua kali lebih banyak dari pada Amerika Serikat. Padahal, jumlah penduduk kedua negara itu jauh di atas Jepang.
Selain dikarenakan oleh rendahnya angka kelahiran, menurut saya paling tidak ada dua hal lagi yang menyebabkan hari tua menjadi saat menakutkan bagi warga Jepang.
Yang pertama tingginya individualisme. Seperti pada umumnya negara maju, individualisme warga negaranya sangat tinggi sedangkan kehidupan sosial sangat berkurang sehingga kehidupan seperti bertetangga, kebersamaan, sudah jarang ditemui. Yang ada adalah tidak saling kenal, tidak akrab walau rumah bersebelahan, sampai apa yang terjadi di rumah tetangga pun tidak tahu.
Tentunya hal itu berbeda dengan masyarakat kita, apalagi yang dipedesaan, yang sekampung bisa kenal semua, dan kita masih bisa ngobrol dan tertawa bersama dengan sanak saudara dan tetangga. Dalam hal ini patut kita syukuri bahwa kehidupan sosial yang begitu akrab masih ada di masyarakat kita.
Penyebab yang kedua adalah kurangnya spiritualisme agama. Dengan keimanan dan ketakwaan yang tinggi, manusia, khususnya manula, bisa dengan tenang, berserah dan pasrah diri dalam menjalani kehidupannya, sehingga kesepain pun tak lagi dirasa, berganti dengan ketenangan jiwa, pedamaian hati dan pikiran.
Dengan kehidupan malam yang teratur, petang sholat maghrib, mengaji sebentar, kemudian sholat isyak, habis sholat isyak, ngobrol dengan keluarga, anak cucu, jagongan dengan tetangga, jam 9 atau 10 malam berangkat tidur, jam 3 dinihari bangun untuk melakukan sholat tahajud diteruskan dzikir sambil menunggu shubuh, Insya Allah rasa kesepian dan kebosanan tiap malam seperti yang dihadapi Hideo tidak akan terjadi.
Bagaimanakah menurut anda? Saya tunggu komentarnya.
Sumber :
Disarikan dari Jawa Pos edisi minggu tanggal 21 Desember 2008, “Kecemasan Warga Senior Jepang Menghadapi Masa Tua, Rela Masuk Penjara Hanya untuk Cari Teman Ngobrol”.
Dan untuk tulisan kali ini, saya ingin menyoroti terlebih dahulu berita tentang kecemasan para warga senior di Jepang menghadapi masa tua. Yang disebut senior disini adalah adalah mereka yang berusia 65 tahun keatas yang jumlahnya mencapai seperlima dari total 127 juta penduduk Negeri Sakura.
Di dalam artikel yang berjudul “Kecemasan Warga Senior Jepang Menghadapi Masa Tua, Rela Masuk Penjara Hanya untuk Cari Teman Ngobrol”, diberitakan bahwa hari tua menjadi saat menakutkan bagi warga Jepang. Tak ada teman, tak punya keluarga di rumah. Mereka pun melakukan “apa saja” agar mendapat teman ngobrol. Termasuk melakukan kejahatan kecil-kecilan.
Diceritakan ada seorag nenek berusia 70-an bernama Kaneko dan seorang kakek berusia 60-an bernama Yoshui, masih tetap semangat bekerja karena memang mereka sangat berkepentingan untuk bekerja. Tak semata-mata demi uang tapi untuk menangkis apa yang menjadi ketakutan warga senior Jepang pada umumnya yaitu : Kesepian.
Kaneko yang bekerja di hotel tempat wartawan Jawa Pos menginap mengatakan, “Disini (di hotel) setidaknya saya punya teman untuk bicara, baik itu rekan kerja maupun para tamu”.
Perasaan sepi ditengah keriuhan, tak berguna di antara derap kemajuan Jepang, memang telah berdampak begitu buruk bagi warga senior Jepang.
Ada lagi seorang kakek bernama Yuji yang menceritakan kalau banyak temannya yang sengaja melanggar hukum agar dipenjara. “ Mereka lebih senang dipenjara, baanyak teman buat ngobrol. Makan dan minum gratis lagi”, katanya.
Menyusuri kehidupan malam di tiga kota besar di Jepang: Tokyo, Yokohama dan Nagoya, pria seperti Yuji banyak ditemui. Ada yang tertidur di rumah makan, ada yang berkeliaran tak tentu arah, ada pula yang duduk-duduk atau rebahan di depan pertokoan.
“Saya bosan dirumah terus. Keluar, merokok, ngobrol sedikit di sana-sini, atau kadang-kadang main kartu dirumah teman. Itu yang saya lakukan tiap malam. Kalau ada duit, saya pergi ke stadion nonton sepak bola”, kata Hideo, seorang staf kebersihan taman kota Hodagaya, Yokohama.
Membaca berita di atas, bagaimanakah pendapat anda?.
Menurut saya kondisi tersebut jelas memprihatinkan. Beda jauh dengan kisah manula kita yang masih bisa merasakan kebahagiaan dan ketenangan jiwa seperti yang sering diangkat Jawa Pos dalam kolom evergreen.
Mengapa kondisi tersebut bisa terjadi di Jepang?. Terisolasinya kalangan kakek-nenek di Jepang, tak lepas dari rendahnya tingkat kelahiran dinegeri tersebut. Warga senior di Jepang tiga kali lebih banyak daripada Tiongkok dan dua kali lebih banyak dari pada Amerika Serikat. Padahal, jumlah penduduk kedua negara itu jauh di atas Jepang.
Selain dikarenakan oleh rendahnya angka kelahiran, menurut saya paling tidak ada dua hal lagi yang menyebabkan hari tua menjadi saat menakutkan bagi warga Jepang.
Yang pertama tingginya individualisme. Seperti pada umumnya negara maju, individualisme warga negaranya sangat tinggi sedangkan kehidupan sosial sangat berkurang sehingga kehidupan seperti bertetangga, kebersamaan, sudah jarang ditemui. Yang ada adalah tidak saling kenal, tidak akrab walau rumah bersebelahan, sampai apa yang terjadi di rumah tetangga pun tidak tahu.
Tentunya hal itu berbeda dengan masyarakat kita, apalagi yang dipedesaan, yang sekampung bisa kenal semua, dan kita masih bisa ngobrol dan tertawa bersama dengan sanak saudara dan tetangga. Dalam hal ini patut kita syukuri bahwa kehidupan sosial yang begitu akrab masih ada di masyarakat kita.
Penyebab yang kedua adalah kurangnya spiritualisme agama. Dengan keimanan dan ketakwaan yang tinggi, manusia, khususnya manula, bisa dengan tenang, berserah dan pasrah diri dalam menjalani kehidupannya, sehingga kesepain pun tak lagi dirasa, berganti dengan ketenangan jiwa, pedamaian hati dan pikiran.
Dengan kehidupan malam yang teratur, petang sholat maghrib, mengaji sebentar, kemudian sholat isyak, habis sholat isyak, ngobrol dengan keluarga, anak cucu, jagongan dengan tetangga, jam 9 atau 10 malam berangkat tidur, jam 3 dinihari bangun untuk melakukan sholat tahajud diteruskan dzikir sambil menunggu shubuh, Insya Allah rasa kesepian dan kebosanan tiap malam seperti yang dihadapi Hideo tidak akan terjadi.
Bagaimanakah menurut anda? Saya tunggu komentarnya.
Sumber :
Disarikan dari Jawa Pos edisi minggu tanggal 21 Desember 2008, “Kecemasan Warga Senior Jepang Menghadapi Masa Tua, Rela Masuk Penjara Hanya untuk Cari Teman Ngobrol”.
0 comments:
Post a Comment