Amrozi dkk BUKAN Mujahid
Belakangan ini beredar SMS dengan isi, heli yang membawa mayat Amrozi cs diikuti burung bertulisan lafaz "Allah" dan kuburan mereka -kata SMS itu- harum, kendati tidak ditaburi bunga. Terlepas apakah kabar burung itu benar atau tidak, SMS tersebut ingin menegaskan Amrozi cs sebagai mujahid dan bukan teroris.
Pandangan semacam itu diperkuat dengan penyambutan kedatangan jenazah Amrozi dan Mukhlas di desa kelahirannya di Lamongan pada 10 November 2008 yang dielu-elukan sebagai mujahid oleh sebagian masyarakat atau kelompok muslim. Dalam ungkapan lain, mereka menganggap bahwa tindakan Amrozi cs meluluhlantakkan daerah Legian, Bali, dan membunuh ratusan penduduk sipil -termasuk turis asing- pada 12 Oktober 2002 enam tahun lalu adalah benar.
Keterjebakan masyarakat ke dalam pandangan tersebut memperlihatkan adanya sebagian masyarakat yang belum memahami konsep jihad secara utuh. Mereka terperangkap dalam keberagamaan naif yang menyikapi ajaran agama secara parsial dan distorsif. Pandangan seperti itu niscaya dibincang lebih jauh dalam kerangka konsep jihad sebagaimana dalam Alquran dan Sunah Rasul serta pandangan ulama sepanjang kesejarahan umat Islam. Perbincangan itu diharapkan dapat mengantarkan kita untuk tidak terlalu gegabah dalam melihat persoalan dan menggunakan simbol-simbol agama, apalagi untuk hal-hal yang justru akan menohok Islam dan merugikan umatnya serta seluruh manusia.
Hakikat Jihad
Sejak awal hingga saat ini, Islam menegaskan bahwa jihad bukan sinonim kata qital dan harb (perang/perlawanan fisik). Dalam Alquran, qital selalu merujuk pada pertahanan diri dan perlawanan fisik serta baru muncul pada periode Madinah, sedangkan jihad memiliki nuansa kekayaan makna sebagai ajaran agama sejak periode Makkah. Hal itu dapat dilacak, antara lain, dari ayat 25 surat Al-Furqan yang menyuruh umat Islam berjihad terhadap kaum musyrik Makkah dengan menggunakan Alquran. Karena ayat tersebut turun di Makkah, jihad yang dimaksudkan di sini jelas bukan perlawanan fisik, tapi argumentasi dan sejenisnya.
Kekayaan makna jihad juga disebutkan, antara lain, dalam Musnad Imam Ahmad yang menyatakan, orang yang disebut mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya untuk menaati ajaran Allah. Juga dalam Sunan Imam Nasa-i yang menegaskan, jihad orang dewasa maupun yang belum, laki-laki atau perempuan, dan yang kuat maupun lemah adalah melakukan haji dan umrah. Makna tersebut jelas berbeda dengan qital yang baru diizinkan ketika umat Islam hijrah ke Madinah. Tujuan jihad model itu semata-mata untuk pertahanan diri serta mutlak harus dibingkai etika luhur.
Makna jihad yang sangat luas itu ditegaskan Hossein Nasr (2005). Dalam pandangannya, segala upaya keras yang berpijak pada moralitas luhur, termasuk salat, puasa, haji, pengentasan masyarakat dari kemiskinan, adalah jihad. Dalam perspektif tersebut, Khaled Abou El Fadl (2005:21) meletakkan jihad sebagai powerful symbol bagi ketekunan, kerja keras, dan keberhasilan. Sampai derajat tertentu, jihad memiliki keserupaan dengan etika Protestanisme. Melalui jihad itu, umat Islam dalam sejarahnya merajut peradaban dan menggapai puncak prestasi dalam ilmu humaniora, keagamaan, dan sains.
Kalaupun jihad pada masa-masa awal sering berkonotasi qital, hal ini tidak terlepas dari kondisi dunia masa itu. Arab, Byzantium, Parsi, dan lainnya saat itu dalam state of war. Realitas tersebut menjadikan Rasulullah (SAW) dan umat Islam setelah hijrah ke Madinah diizinkan untuk melakukan perlawanan terhadap kaum politeis/musyrikun. Namun, qital-jihadi (jihad perlawanan fisik) diizinkan sebatas untuk pertahanan dan pembelaan serta pembebasan diri dari belenggu penindasan. Lebih dari itu, pengaitan perlawanan dengan jihad menunjukkan, perlawanan tersebut harus tetap berpijak pada keluhuran etika-moral dan merupakan cara terakhir manakala upaya lain sudah tertutup sama sekali.
Di tangan para fuqaha (ahli hukum Islam) -baik Sunni maupun Syiah- persyaratan qital-jihadi dirumuskan dengan sangat ketat. Berpijak pada Alquran dan Sunah Rasul, mereka menegaskan, perlawanan fisik yang dilakukan umat Islam sama sekali tidak boleh diarahkan kepada penduduk sipil dan lingkungan hidup. Apalagi, sasarannya para turis, yang menurut Al-Qardhawi, bukan hanya tidak boleh diserang, tapi juga jangan sampai diganggu. Selain itu, hanya pemimpin yang berhak untuk menyatakan pemberlakuan dan penegakan jihad-qitali. Dalam konteks Sunni, pemimpin yang dimaksud adalah kepala negara, sedangkan dalam perspektif Syiah adalah imam.
Memperjelas hal itu, al-Jabiri (2003) menegaskan, ayat-ayat pedang (qital) -yang sering disalahgunakan kelompok muslim tertentu untuk melakukan terorisme- sangat kontekstual dengan kondisi umat Islam saat itu. Bahkan, al-Faqih Abu Bakr ibnu Arabi -sebagaimana dikutip al-Jabiri- menyatakan, makna kaum kafir dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan perang adalah kaum kafir Makkah. Dengan demikian, kaum kafir saat ini, apalagi nonmuslim yang lain, tidak bisa serta-merta disikapi sama seperti kaum kafir Makkah.
Jika hal itu ditarik ke konteks kekinian, saat dunia tidak lagi berada dalam state war dan konflik antar duanegara atau lebih harus melalui badan internasional, pada satu pihak qital-jihadi niscaya lebih diperketat dari aspek syarat, proses, dan lain sebagainya. Pada pihak lain, jihad dalam makna yang komperehensif, humanistis, dan bermoral perlu disebarluaskan.
Bertentangan dengan Jihad
Pelacakan makna jihad mengantarkan pada kesimpulan, serangan yang dilakukan Amrozi cs sama sekali tidak memiliki kaitan, bahkan bertentangan, dengan jihad. Dilihat dari proses dan sasaran yang mereka lakukan, mereka bukan hanya tidak sebagai mujahid, tapi juga mereka berada dalam posisi yang berseberangan diametral dengan nilai-nilai jihad.
Melihat keterperangkapan sebagian masyarakat ke dalam pemaknaan jihad parsial dan distorsif, umat Islam Indonesia mutlak meletakkan konsep tersebut sesuai dengan substansi ajaran Islam. Seiring itu, pembumian jihad melalui kerja-kerja kemanusiaan, mulai pemberantasan korupsi hingga kemiskinan dan kebodohan (pembodohan), niscaya untuk dijadikan praksis jihad umat Islam dari saat ke saat.
Penulis : Abd. A'la , guru besar IAIN Sunan Ampel, Surabaya
Dimuat di Jawa Pos edisi Rabu, 19 November 2008
Foto : www.abc.net.au
Pandangan semacam itu diperkuat dengan penyambutan kedatangan jenazah Amrozi dan Mukhlas di desa kelahirannya di Lamongan pada 10 November 2008 yang dielu-elukan sebagai mujahid oleh sebagian masyarakat atau kelompok muslim. Dalam ungkapan lain, mereka menganggap bahwa tindakan Amrozi cs meluluhlantakkan daerah Legian, Bali, dan membunuh ratusan penduduk sipil -termasuk turis asing- pada 12 Oktober 2002 enam tahun lalu adalah benar.
Keterjebakan masyarakat ke dalam pandangan tersebut memperlihatkan adanya sebagian masyarakat yang belum memahami konsep jihad secara utuh. Mereka terperangkap dalam keberagamaan naif yang menyikapi ajaran agama secara parsial dan distorsif. Pandangan seperti itu niscaya dibincang lebih jauh dalam kerangka konsep jihad sebagaimana dalam Alquran dan Sunah Rasul serta pandangan ulama sepanjang kesejarahan umat Islam. Perbincangan itu diharapkan dapat mengantarkan kita untuk tidak terlalu gegabah dalam melihat persoalan dan menggunakan simbol-simbol agama, apalagi untuk hal-hal yang justru akan menohok Islam dan merugikan umatnya serta seluruh manusia.
Hakikat Jihad
Sejak awal hingga saat ini, Islam menegaskan bahwa jihad bukan sinonim kata qital dan harb (perang/perlawanan fisik). Dalam Alquran, qital selalu merujuk pada pertahanan diri dan perlawanan fisik serta baru muncul pada periode Madinah, sedangkan jihad memiliki nuansa kekayaan makna sebagai ajaran agama sejak periode Makkah. Hal itu dapat dilacak, antara lain, dari ayat 25 surat Al-Furqan yang menyuruh umat Islam berjihad terhadap kaum musyrik Makkah dengan menggunakan Alquran. Karena ayat tersebut turun di Makkah, jihad yang dimaksudkan di sini jelas bukan perlawanan fisik, tapi argumentasi dan sejenisnya.
Kekayaan makna jihad juga disebutkan, antara lain, dalam Musnad Imam Ahmad yang menyatakan, orang yang disebut mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya untuk menaati ajaran Allah. Juga dalam Sunan Imam Nasa-i yang menegaskan, jihad orang dewasa maupun yang belum, laki-laki atau perempuan, dan yang kuat maupun lemah adalah melakukan haji dan umrah. Makna tersebut jelas berbeda dengan qital yang baru diizinkan ketika umat Islam hijrah ke Madinah. Tujuan jihad model itu semata-mata untuk pertahanan diri serta mutlak harus dibingkai etika luhur.
Makna jihad yang sangat luas itu ditegaskan Hossein Nasr (2005). Dalam pandangannya, segala upaya keras yang berpijak pada moralitas luhur, termasuk salat, puasa, haji, pengentasan masyarakat dari kemiskinan, adalah jihad. Dalam perspektif tersebut, Khaled Abou El Fadl (2005:21) meletakkan jihad sebagai powerful symbol bagi ketekunan, kerja keras, dan keberhasilan. Sampai derajat tertentu, jihad memiliki keserupaan dengan etika Protestanisme. Melalui jihad itu, umat Islam dalam sejarahnya merajut peradaban dan menggapai puncak prestasi dalam ilmu humaniora, keagamaan, dan sains.
Kalaupun jihad pada masa-masa awal sering berkonotasi qital, hal ini tidak terlepas dari kondisi dunia masa itu. Arab, Byzantium, Parsi, dan lainnya saat itu dalam state of war. Realitas tersebut menjadikan Rasulullah (SAW) dan umat Islam setelah hijrah ke Madinah diizinkan untuk melakukan perlawanan terhadap kaum politeis/musyrikun. Namun, qital-jihadi (jihad perlawanan fisik) diizinkan sebatas untuk pertahanan dan pembelaan serta pembebasan diri dari belenggu penindasan. Lebih dari itu, pengaitan perlawanan dengan jihad menunjukkan, perlawanan tersebut harus tetap berpijak pada keluhuran etika-moral dan merupakan cara terakhir manakala upaya lain sudah tertutup sama sekali.
Di tangan para fuqaha (ahli hukum Islam) -baik Sunni maupun Syiah- persyaratan qital-jihadi dirumuskan dengan sangat ketat. Berpijak pada Alquran dan Sunah Rasul, mereka menegaskan, perlawanan fisik yang dilakukan umat Islam sama sekali tidak boleh diarahkan kepada penduduk sipil dan lingkungan hidup. Apalagi, sasarannya para turis, yang menurut Al-Qardhawi, bukan hanya tidak boleh diserang, tapi juga jangan sampai diganggu. Selain itu, hanya pemimpin yang berhak untuk menyatakan pemberlakuan dan penegakan jihad-qitali. Dalam konteks Sunni, pemimpin yang dimaksud adalah kepala negara, sedangkan dalam perspektif Syiah adalah imam.
Memperjelas hal itu, al-Jabiri (2003) menegaskan, ayat-ayat pedang (qital) -yang sering disalahgunakan kelompok muslim tertentu untuk melakukan terorisme- sangat kontekstual dengan kondisi umat Islam saat itu. Bahkan, al-Faqih Abu Bakr ibnu Arabi -sebagaimana dikutip al-Jabiri- menyatakan, makna kaum kafir dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan perang adalah kaum kafir Makkah. Dengan demikian, kaum kafir saat ini, apalagi nonmuslim yang lain, tidak bisa serta-merta disikapi sama seperti kaum kafir Makkah.
Jika hal itu ditarik ke konteks kekinian, saat dunia tidak lagi berada dalam state war dan konflik antar duanegara atau lebih harus melalui badan internasional, pada satu pihak qital-jihadi niscaya lebih diperketat dari aspek syarat, proses, dan lain sebagainya. Pada pihak lain, jihad dalam makna yang komperehensif, humanistis, dan bermoral perlu disebarluaskan.
Bertentangan dengan Jihad
Pelacakan makna jihad mengantarkan pada kesimpulan, serangan yang dilakukan Amrozi cs sama sekali tidak memiliki kaitan, bahkan bertentangan, dengan jihad. Dilihat dari proses dan sasaran yang mereka lakukan, mereka bukan hanya tidak sebagai mujahid, tapi juga mereka berada dalam posisi yang berseberangan diametral dengan nilai-nilai jihad.
Melihat keterperangkapan sebagian masyarakat ke dalam pemaknaan jihad parsial dan distorsif, umat Islam Indonesia mutlak meletakkan konsep tersebut sesuai dengan substansi ajaran Islam. Seiring itu, pembumian jihad melalui kerja-kerja kemanusiaan, mulai pemberantasan korupsi hingga kemiskinan dan kebodohan (pembodohan), niscaya untuk dijadikan praksis jihad umat Islam dari saat ke saat.
Penulis : Abd. A'la , guru besar IAIN Sunan Ampel, Surabaya
Dimuat di Jawa Pos edisi Rabu, 19 November 2008
Foto : www.abc.net.au
0 comments:
Post a Comment